Allah menghendaki kehidupan manusia senantiasa mengalami berbagai
perubahan antara senang dan sedih, suka dan duka, sehat dan sakit.
Sebagaimana biasa mengalami lapang dan sempit, harap dan takut, tertawa
dan menangis. Semua ini adalah aturan Allah yang sangat bermanfaat bagi
setiap mukmin demi meningkatkan ketakwaan.
Dan akan menjadi bencana bagi yang tidak beriman, karena dia tidak sadar bahwa
semua itu adalah bekal yang sangat bermanfaat bagi peningkatan derajat
dalam kehidupan. Karena itu, dalam menyikapi semua kondisi yang dihadapi
ini manusia tidak terlepas dari salah satu dianatara dua nilai, yaitu
positif dan negatif atau benar dan salah, baik menurut pandangan manusia
atau pun pandangan Yang Maha Kuasa.
Seseorang dapat meingkatkan keimanannya dengan menjalin ukhuwwh
Islamiyah yang sering dihiasi dengan senyuman dan juga dapat
meningkatkan taqarrub kepada
Rabbnya dengan sering mengis karena menyadari akan kelalaian dalam
melaksanakan kewjiban dimasa lalu, dan menangis karena takut akan
kekeliruan dalam memhami dan salah mengamalkan ajaran Ilahi yang mesti
ditatinya demi leselamatan dan kemaslahatn dimasa mendatang.
Manangis adalah akhlaq para nabi dan kebiasaan para shalihin. Namun
tentu bukan sekedar menangis, melainkan menangis yang membuktikan
penghambaan diri yang muncul dari kesadaran yang sangat mendalam.
Sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah yang selalu memerlukan
pertolongan; hamba yang menyadari sering lalai terhadap aturan-Nya;
hamba yang sangat bodoh tapi sring menyombongkan diri dengan ilmu yang
sangat sedikit; hamba yang tidak memiliki apa-apa tapi berlaga sombonga
seakan-akan apa yang ada dalam dirinya adalah miliknya; sungguh semua
yang ada pada diri seorang hamba baik berupa jasad kesehatan, harta,
jabatan atau lainnya, semua itu adalah amanat yang mesti dipelihara
dengan menggunakannya sesuai fungsinya dan mesti dipertanggungjawabakan
pada saat yang tidak lama lagi akan tiba.
Para nabi menangis karena melihat ummat yang sedang mendertia kebejadan
akhlaq dan penyimpangan aqidah serta kerusakan pemahaman terhadap
syari’ah yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Para ualama sering
menangis karena khawatir tidak dapat melanjutkan perjuangan Rasul akibat
beratnya tantangan dan kurangnya kemampuan serta meluasnya kema’siatan.
Bila dibacakan kepada mereka ayat Allah yang berisi perintah, mereka
menyadari belum dapat melaksanakan perintah sebagaimana mestinya.
Sebaliknya bila dibacakan ayat yang mngandung larangan, mereka selalu
ingat akan semua perbuatan yang menurut pandangan manusia tidak termasuk
pelanggaran, padahal boleh jadi, tanpa disadari, dihadapan Allah sering
sekali melakukan pelanggaran.
Bila dibacakan ayat-ayat tentang kenikmatan surga, terbayanglah orang
lain sedang menikmatinya, sementara dirinya sedang dalam penderitaan
menonton dari kejauhan apa yang dinikmati ahli surga, karena menyadari
belum beramal sebagaimana mestinya yang memenuhi kriteria untuk menjadai
mauttaqiin shalihin.
Bila sudah melaksanakan sebagain perintah-Nya, mereka yakin bahwa tiada
yang dapat mengetahui apakah amalnya memenuhi syarat diterma Allah
ataukah tidak. Dan bila bertaubat, dari mana diketahui bahwa taubatnya
memenuhi syarat untuk diterima dihadapan Allah.
Semakin tinggi ketakwaan seseorang maka semakin mudah baginya mengetahui
kesalahan dan kelalian dirinya dan semakin menyadari bahwa dirinya
masih jauh untuk mencapai tingkat muttaqin.
Karenanya ketakutan kepada Allah akan semakin meningkat, demikian pula harapan akan ampunan semakin bertambah. Wallahu 'alam.